yogyakarta

Sejarah Keistimewaan Yogyakarta

Status keitimewaan Yogyakarta merupakan warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga kadipaten Paku Alaman sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki satus Dependent state (negara bagian) dalam pemerintahan penjajahan sejak dari VOC hingga ankatan perang jepang. Satus ini membawa kosekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah sendiri dibawah pengawasan pemerintah penjajah. Status ini pula yang kemudian diakui dan diberi paying hukum oleh BAPAK PENDIRI Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.[1]
Di Jakarta pada tanggal 19 agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan DIY. Sebenarnya kedudukan DIY ini sudah diatur dalam UUD namun belum dietur dengan rinci. Setelah perdebatan antara beberapa anggota sidang akhirya kedudukan DIY ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-undang tentang peraturan daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amant 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia
Untuk merumuskan susunan dan kedudukasn daerah daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang marathon untuk merumuskan RUU pokok pemerintah Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan pendapat antara KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki , yang menghendaki Yogyakarta sebagai daerah istimewa. RUU yang terdiri dari sepuluh Bab tersebut dapat di selesaikan membahas kedudukan Yogyakarta, kekuasaan pemerintah, dsb.
Sembari menunggu UU yang mengatur susunan daerah seperti pasal 18 UUD, maka Sri Sultan HB IX dan paduka PA VII dengan persetujuan DPR DIY (Dewan Daerah ) pada 18 Me1 1946 mengeluarkan maklumat No 18 yang mengatur kekuasaan legislatif dan eksekutif . Dalam maklumat ini secara resmi nama DIY digunakan menendai bersatunya dua monarki kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah daerah istimewa.
DIY secara formal dibentuk dengan UU no. 3 Tahun 1950 yang di ubah dengan UU No 19 Tahun 1950 kedua UU tersebut mulai berkaku 15 Agustus dengan PP No. 31 tahun 1950.
Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah daerah istimewa setingkat provinsi bukan sebuah priovinsi . Kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah provinsi.
Substansi istimewa bagi daerah istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal : pertama, istimewa dalam hal sejarah pembentukan pemerintahan daerah istimewa ; Kedua, istimewa dalam hal bentuk pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari dua wilayah kasultanan dan pakualaman menjadi satu daerah bersifat provinsi dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ; Ketiga, istimewa dalam hal kepala pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Sultan dan Adipati yang bertahta.

Penyelenggaraan Pemerintahan Yogyakarta

Penyelenggaraan pemerintah DIY pada tahun 1946-1948 dengan adanya maklumat No. 18 menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD sesuai dengan tingkatan daerah masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipegang secara bersama-sama oleh DPD dan kepala dearah sesuai dengan tingkatannya. Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-Undang yang mengatur DIY.
Dalam UU 22/1948 tentang Undang-Undang pokok Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat 5 “ Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itudi zaman sebelum Republuk Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya…”. Kemudian dalam petikan penjelasan umum UU 22/1948 sub 29 dan 30 “ pemerintahan di Daerah Istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintah di daerah biasa ; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat ). Yang berbeda adalah tentang pengangkatan Kepala Daerahnya. Juga mengenai angkatan Wakil Kepala Daerahnya…”.
Sejak tahun 1945-1988 DIY dipimpin oleh Sri Sultan HB IX sebagai Gubernur/kepala Daerah Istimewa dan Pauduka Pakualaman sebagai Wakil Gubernur. Kemudian setelah wafatnya HB IX (1988), pelaksanaan tugas Gubernur dijalankan oleh Sri Paduka Paku Alaman hingga 1998. Pada tahun 1998 pula blieu meninggal. Atas desakan rakya,t maka sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur periode 1998-2003. Setelah jabatan berakhir DPRD DIY menginginkan pemilihan gubernur sesuai dengan UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki HB X dan Paduka Paku Alaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, sehingga mereka kembali menjabat.
Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya. Hanya berbeda cara pemilihan kepala daerahnya saja.
1. Yogyakarta Monarki atau Demokrasi

Monarki adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja. Segala otoritas kekuasaan ada di tangan raja. Monarki dibagi menjadi dua, yaitu monarki absolute dan monarki konstitusional. Monarki absolute mengatakan raja tidak pernah salah, tapi saat ini tidak ada lagi monarki absolute. Yang sekarang banyak digunakan adalah monrki konstitusional yaitu monarki yang demokratis, seperti yang terjadi di Iggris, Malaysia, Thailand, dsb.
Indonesia adalah negara berdasarkan demokrasi. Sedangkan menurut prinsip demokrasi di Indonesia dalam pemilihan kepala pemerintahan harus dipilih melalui PEMILU. Hal ini kemudian yang menimbulkan permasalahan dalam pengesahan RUUK Yogyakarta.
Sistem pemerintahan yang sekarang sudah berjalan sejak zaman kemerdekaan di Yogyakarta ini adalah sistem pemerintahan monarki konstitusional. Sultan tidak absolut, Sultan bekerja dalam aturan demokrasi. Sultan juga tidak menerapkan sistem monarki dalam pemerintahan. Buktinya seluruh pejabat daerah dari yang terendah hingga yang tertinggi tidak dijabat keluarga kerajaan. Semua direkrut melalui mekenisma dan aturan yang demokratis. Sehingga jelas bahwa dalam pelaksanaannya tetap mengutamakan nilai demokrasi.

2. Polemik Keistimewaan Yogyakarta
Masalah Pemilihan Kepala Daerah yang terjadi di DIY ini memunculkan banyak polemik. Karena dianggap tidak sesuai dengan praktik demokrasi di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan RUUK Yogyakarta belum di sahkan hingga hari ini (1/12/2010).
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat cabinet terbatas 26/11/2010 terkait RUUK Yogyakarta memunculkan polemik baru.Presiden menyatakan pemerintah akan mencari format keistimewaan Yogyakarta agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan nilai-nilai demokrasi. Menurut presiden, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Pernyataan presiden ini mengundang banyak kritik negatif dari DPR dan rakyat Indonesia. Menurut Ganjar Pranowo, mengenai tidak ada sistem monarki dalam tatanan demokrasi tidak dapat dikaitkan dengan keistimewaan Yogyakarta pasalnya dalam pasal 18A ayat 1 telah diatur keistimewaan DIY termasuk penetapan Gubernur yang secara otomatis dijabat oleh sultan. Pernyataan ini juga langsung dibalas Sultan bawha Provinsi DIY bukan provinsi monarki. Menurut Sultan DIY ini sama dengan sistem organisasi manajemen provinsi lain. Banyak pihak menyesalkan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai tidak memahami substansi keistimewaan Yogyakarta.
Keinginan SBY untuk diadadakn pemilihan di DIY ini memunculkan protes keras dari masyarakat Yogyakarta. Jika Presiden tetap menginginkan pemilihan umum untuk gubernur di Yogyakarta maka rakyat menginginkan adanya referendum. Ribuan stiker mengenai referendum di sebar di kot Yogyakarta. Menurut Pramono Anun (Wakil Ketua DPR RI) Bila terjadi referendum di provinsi DIY akan membahayakan NKRI dan kewibawaan pemerintah akan jatuh dimata masyarakat. Ia mengatakan pemerintah pusat untuk tidak mengotakatik soal keistimewaan DIY yang sudah ada sejak zaman Soekarno dan Sultan HB IX.
Juru bicara kepresidenan Julian Adri Pasha mengakui ada kesalahpahaman pihak-pihak yang mendengar pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gumawan Fauzi (MENDAGRI) menegaskan, pemerintah memperhatikan amanat konstitusi, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota itu dipilih secara demokratis. Itu amanat konstitusi bukan Presiden yang menyatakan. Disisi lain, UUD juga mengamanatkan tentang daerah khusus atau istimewa. Karena itu perlu pertimbangan matang untuk membaurkan amanat konstitusi itu.
Prinsip yang dipegang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan tradisi keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang satu decade di era reformasi ini. Karena itu, tidak bermaksud untuk membenturkan sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum.
Untuk menyelesaikan masalah ini perlu adanya komunikasi secara khusus antara Presiden dengan Kesultanan Ngayogyakarta. Sehingga konflik RUUK Dearah Istimewa Yogyakarta dapat segera diselesaikan dan dicari solusi yang tepat sehingga rakyat tidak menjadi korban.

PENUTUP

Keistimewaan Yogyakarta tidak patut dipertanyakan lagi. Mengingat peristiwa sejarah dimasa lampau dan sumbangsih Yogyakarta terhadap Indonesia. Menilai sistem pemerintahan di Provinsi DIY bersifat monarki adalah sesuatu yang tidak tepat. Anggapan monarki ini dalam konteks simbolisasi budaya jawa, jelas bukan monarki politik. Pemerintahan di Yogyakarta menerapkan semua perinsip demokrasi dan administrasinya sama seperti provinsi lain di Indonesia. Amanat 5 September 1945 menguatkan stasus keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dari sisi hukum dan sejarah.
Mereka yang beranggapan bahwa monarki Yogyakarta bertentangan dengan demokrasi telah menyakitu hati rakyat Yogyakarta. Pernyataan seperti itu tidak sesuai dengan fakta sejarah. Yogyakarta telah menyelamatkan negara. Saat baru berdiri Republik Indonesia hampir ambruk karena Belanda kembali datang ke Indonesia. Ketika itu sultan menawarkan ibu kota pindah ke Yogyakarta dan pemerintahan terus berlanjut.


DAFTAR PUSTAKA

Bahar, Saafroedin et.al. 1993. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945 Agustus 1945. Jakarta: Sekertariat Negara RI.
Poerwokoeoemo, Soedarisma. 1984. Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wahyukismoyo, Heru. 2004. Keistimewaan Jogja vs Demokratisasi. Yogyakarta: Grafika.
Id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Istimewa_Yogyakarta

Komentar

Postingan Populer