"HATI" Muara Segala Perbuatan
Yogyakarta, 04 Januari 2018
Siang ini seorang Ibu
berusia sekitar 43 tahun, memiliki 5
orang anak dan rela bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masuk keruang kerja saya untuk konsultasi atas permasalahan yang dihadapinya, begini ceritanya:
“si ibu tadi tak kuasa menahan sesak didadanya saat mulai bercerita”
Suami saya adalah orang terpandang di kampung, setiap kali adzan berbunyi Ia selalu bergegas pergi ke Masjid untuk beribadah. Masyarakat sekitar sangat menghormati sosok suami saya, handal dalam memberikan nasihat, Ia bisa memperlakukan orang lain dengan baik, namun tidak kepada saya dan anak-anak.
Saya
dan anak-anak sering kali menjadi sasaran emosinya, setiap Ia marah selalu
mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan, Ia seakan-akan menjadi
pribadi yang lain ketika berhadapan dengan saya dan anak-anak. Saya diberi uang
secukupnya yang apabila dirumuskan tidak sampai bertahan 2 minggu, namun Ia
tidak pernah mau memahami, bahkan selalu menuntut saya memberikan pertanggungjawaban kenapa uang tersebut habis dengan cepat. Akhirnya saya memutuskan
untuk membantu bekerja agar masalah kekurangan uang tidak melulu menjadi
permasalahan dalam keluarga kami.
Selesai
permasalahan keuangan keluarga kami, terjadi masalah lain lagi, Saya dilarang
memberikan uang kepada Ibu saya -Ibu saya seorang janda renta yang memang wajib
dibantu-.
Seiring berjalannya waktu saya merasa diperlakukan seperti budak, pagi dijadikan luapan emosinya ketika marah, siang hari saya harus bekerja membantu memenuhi kebutuhan hidup, mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak-anak, Sementara malam dijadikan luapan nafsunya.
Secara batin saya sangat tersiksa hidup bersama dengannya, tapi dia tidak mau melepaskan saya untuk hidup sendiri-sendiri sementara dia tidak mau merubah sikap kasar dan tetap tidak bertanggungjawab. Dengan egonya yang tinggi, Ia menuntut dihargai sebagai suami namun tidak melakukan kewajibannya sebagai suami, tidak ada sikap lemah lembut dari perangainya. Menjadikan hati saya semakin hancur dan semakin kuat keinginan untuk berpisah dengannya.
Saya menginginkan kehidupan
yang damai, disayangi dan diperlakukan
layaknya seorang istri. Bukan seorang budak -matanya nanar menahan air mata-
Sampai
akhirnya hari ini saya memutuskan untuk meminta bercerai darinya dan melayangkan
gugatan perceraian. Ia tetap bersikukuh ingin mempertahankan rumah tangga kami
dengan alasan malu dengan masyarakat sekitar.
Begitu Ceritanya
Saya diam tertegun
mendengarkan ceritanya, meskipun saya tidak tahu seberapa besar kebenaran
cerita ibu tadi. Tapi hati saya tergetar mendengarnya, tanda adanya kejujuran
Ibu tadi dalam bercerita -sesuai dengan apa yang dialaminya-.
Poin yang membuat saya heran
adalah –Suaminya sholat lima waktu dan dilakukan berjama’ah di Masjid-
Selama Ibu tadi cerita, saya
mencoba mencerna dan berfikir advice apa yang saya berikan. Secara Saya belum pernah merasakan kehidupan
berumahtangga.
Kata-kata yang memenuhi kepala saya adalah, Marah, Kasar, Keras Hati dan Sholat.
Dalam Al-quran dijelaskan
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan)
keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45).
Satuhal yang saya selalu yakini adalah Firman Allah dan Janji-Nya itu NYATA dan PASTI, jadi jika ada ketidaksesuaian, permasalahannya ada pada diri manusia tersebut. Sebagai mana hadits
“Barangsiapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapati selain dari itu, janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim no. 2577).
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mengatakan,
“Ada seseorang yang biasa shalat di malam hari namun di pagi hari ia mencuri. Bagaimana seperti itu?” Beliau lantas berkata, “Shalat tersebut akan mencegah apa yang ia katakan.” (HR. Ahmad 2: 447, sanadnya shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, karya Ibnu Katsir hlm 6: 65 menyebutkan :
“Dalam shalat ada tiga
hal di mana jika tiga hal ini tidak ada maka tidak disebut shalat. Tiga hal
tersebut adalah ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah. Ikhlas itulah yang
memerintahkan pada yang ma’ruf (kebaikan). Rasa takut itulah yang
mencegah dari kemungkaran. Sedangkan dzikir melalui Al Qur’an yang memerintah
dan melarang sesuatu.”
Akhirnya saya menarik kesimpulan, segala perbuatan manusai berawal
dari hati-nya sebagaimana Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh
ada segumpal daging yang jika baik, akan baiklah seluruh tubuh dan sebaliknya
jika rusak, akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah sepotong daging itu adalah
hati” (Muttafaq Alaihi).
Perkataan Kotor, marah dan
kasar semuanya bermuara pada HATI.
Dan Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2] : 153
Dan Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah [2] : 153
“Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Sabar muaranya dari hati, jikalau hati tidak sabar dan tidak melakukan semua yang diperbuat atas dasar mencari Ridha Allah, maka tidak ada rasa ikhlas, rasa takut dan dzikir pada Allah ketika melakukan sholat.
Dan akhirnya saya katakan kepada ibu tadi, ibu yang sabar ya, karena orang sabar selalu beruntung............
Komentar
Posting Komentar